Memilih Hidup yang Telah Ditakdirkan

·

3 min read

Hari ini, tepatnya 24 tahun yang lalu, lahirlah seorang anak perempuan bungsu dari pasangan Ibu dan Bapak yang luar biasa hebatnya. Ia dilahirkan tepat selepas waktu Imsak pada 17 Ramadhan 1419 H dari rahim seorang Ibu yang Insya Allah menjadi penghuni Surga-Nya.

Mengapa aku berani menyebut penghuni Surga-Nya? Karena menurutku, tiada imbalan yang dapat menebus segala pengorbanan beliau kecuali Surga yang telah Allah Ta'ala janjikan kepada umat-Nya.

Hingga detik ini, aku tak mampu membayangkan kondisi Ibu 24 tahun yang lalu, saat mengandung dan melahirkanku. Kala itu, Ibu mengalami sakit keras hingga akhirnya beliau tak mampu berjalan. Andai Ibu jahat, mungkin beliau tidak akan memilih untuk bertahan hingga akhirnya aku terlahir di dunia ini. Namun, ini adalah bagain dari takdir. Allah yang mengizinkanku terlahir dengan selamat ke dunia ini.


Terlahir sebagai anak bungsu, bisa dikatakan aku yang paling banyak menghabiskan waktu bersama Ibu dan Bapak dibandingkan Mbak dan Masku. Kedua orangtuaku adalah seorang petani, itu yang mengharuskanku menghabiskan masa kecil hingga remaja di sawah atau ladang.

Dalam hal pendidikan, aku bisa dibilang paling beruntung dibanding kakak-kakaku. Mayoritas dari mereka, hanya bisa menamatkan hingga bangku Sekolah Dasar. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi keluarga pada saat itu sangat tidak stabil, bahkan hanya untuk makan saja seringkali kekurangan (katanya). Namun, Allah meridhoiku untuk bisa menyelesaikan sekolah hingga Menengah Atas.

Ketika di bangku sekolah, aku bukan termasuk siswi yang punya prestasi yang cemerlang ataupun terlintas punya keinginan menjadi begini atau begitu. Semua mengalir begitu saja, aku giat belajar ya hanya ketika Ibu sudah marah-marah, selebihnya main dan nonton TV. Tapi, entah kenapa setiap akhir semester, masuk peringkat 1 atau 2. Aku rasa ini ada kesalahan teknis.

Petualangan sekolah yang begitu berwarna dimulai tahun 2009, tepatnya saat aku duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Aku ditemukan dengan salah satu guru yang luar biasa hebat. Berkat beliau, aku mengenal dunia sedikit lebih luas. Aku tahu setelah ini mau ke mana, dan lain sebagainya. Salah sau pesan beliau yang aku ingat hingga saat ini adalah "Pak guru ga mau denger Rina berhenti sekolah."

Aku menganggap beliau bukan hanya seorang guru, melainkan orangtuaku. Beliau mendidik dengan cara yang menurutku sangat unik, hingga aku merasa belajar menjadi mudah dan sering pulang terlambat hanya untuk melanjutkan belajar. Tak jarang, beliau sendiri yang mengantarku pulang menggunakan sepeda motor, hingga suatu ketika beliau matur (bahasa Jawanya bilang) ke Ibu "Rina harus tetep lanjut sekolah nggih Bu."

Ah iya, fun fact-nya beliau juga yang pertama kali mengajariku mengoprasikan komputer. Masih teringiang-ngiang hingga saat ini, kala itu beliau bilang "ini namanya klik kanan, ini klik kiri, ini keyboard ya Rina". Sederhana, tapi melekat dalam ingatan hingga detik ini hehe.

Singkat cerita, aku didaftarkan oleh beliau ke salah satu SMP favorit di kotaku dan Alhamdulillah lolos. Awal-awal masuk, aku kena culture shock dengan kehidupan di sana. Aku yang hanya anak ndeso harus bertemu dengan mereka yang memiliki berbagai latar belakang, mulai dari anak dosen, kepala sekolah, dan lain sebagainya.


Di bangku SMP yang didominasi murid-murid berprestasi, aku masuk ke dalam kategori murid yang biasa-biasa saja. Setiap akhir semester hanya mentok masuk peringkat 10 besar. Aku juga ga terlalu ambis untuk memiliki prestasi lebih. Sadar diri aja, di sana isinya monster semua wkwkwkw.

Namun, ada satu kejadian yang masih aku ingat dengan jelas hingga saat ini. Sebelum ulangan mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komputer) kelas 7, aku menyempatkan diri untuk membaca buku paket. Nah, kebetulan, isinya keluar di soal. Entah saat itu aku mendapatkan wangsit dari mana, isi buku tersebut hingga posisi halaman dan tulisannya bisa terlihat jelas diingatanku. Karena kejadian itu, dari total 32 siswa dalam satu kelas, hanya 7 atau 9 siswa saja yang tidak remidial, salah satunya aku. Sempet heran kenapa bisa gitu wkwk.

Setelah kejadiaan itu, apakah aku jadi siswa yang pandai? Tentu tidak. Seiring berkembang dan bertambahnya umur, aku memasuki masa remaja. Di sana aku mulai tertarik dengan lawan jenis. Di sini, mungkin ujian mulai menghampirku. Ilmu yang aku miliki sulit berkembang, bisa jadi disebabkan karena maksiat dan dosa lainnya.